GUDATAnews.com, Bengkulu - Konsorsium
Sumatera Terang untuk Energi Bersih yaitu gabungan sejumlah organisasi
non-pemerintah yang berbasis di Pulau Sumatera membuat laporan dugaan
pelanggaran HAM atas aktivitas tiga Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
batubara di Pulau Sumatera yakni Aceh, Sumatera Utara dan Bengkulu yang
disokong pendanaannya dari badan usaha dan pemerintah China.
Laporan ini disampaikan melalui
mekanisme yang ada di Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang berjalan dalam siklus empat tahunan yaitu Universal Periodic Review
(UPR) atau Peninjauan Berkala Universal bagi 193 negara anggota PBB.
Dalam mekanisme ini ada 48 negara yang
ditinjau setiap tahunnya dalam tiga sesi Kelompok Kerja Peninjauan Berkala
Universal (UPR) Dewan HAM PBB, dengan 16 negara meninjau dalam setiap sesinya.
Salah satu dari 48 negara yang ditinjau pada tahun ini adalah China.
Laporan Konsorsium Sumatera Terang
bahwa telah terjadi dugaan pelanggaran HAM berupa hak hidup dan kesehatan, hak
atas lingkungan dan hak atas mata pencaharian atau hak ekonomi warga yang
tinggal di sekitar proyek PLTU Nagan Raya Provinsi Nangroe Aceh Darussalam,
PLTU Pangkalan Susu Sumatera Utara dan PLTU Teluk Sepang Bengkulu yang didanai
badan usaha dan pemerintah China.
Dua lembaga keuangan yang menyediakan
dana pinjaman untuk proyek PLTU di Pulau Sumatera adalah Industrial Commercial
Bank of China (ICBC) dan Export Import Bank of China. Kedua bank ini telah
meminjamkan dana 270 juta dolar AS untuk PLTU Teluk Sepang, 373 juta dolar AS
untuk PLTU Pangkalan susu dan setidaknya 124,34 juta dolar AS untuk PLTU Nagan
Raya.
Laporan itu disampaikan ke Kantor
Komisaris Tinggi PBB untuk HAM atau Office of the United Nations High
Commissioner for Human Rights (OHCHR) pada Juli 2023, sesuai dengan tenggat
waktu penyampaian laporan.
Laporan konsorsium ini diterima oleh
Kelompok Kerja Peninjauan Berkala Universal (UPR) dan akan dibahas pada Selasa
23 Januari 2024 di Markas PBB Jenewa.
Mimi Surbakti dari Yayasan Srikandi
Lestari Sumatera Utara yang merupakan Anggota Konsorsium Sumatera Terang untuk
Energi Bersih mengatakan PLTU Pangkalan Susu yang berdiri sejak 2016 diduga
telah melanggar hak hidup dan kesehatan, hak atas mata pencaharian dan hak atas
lingkungan yang bersih dan sehat.
“Ada 659 nelayan tradisional yang
tersingkir dari perairan sekitar proyek PLTU Pangkalan Susu sehingga mereka
kehilangan sumber mata pencaharian, padahal sudah puluhan tahun mereka hidup
dari laut,” kata Mimi.
Ia pun menyoroti kondisi cerobong PLTU
Pangkalan Susu yang mengeluarkan abu tebal yang diperkirakan tanpa alat
penyaring atau filter yang dikeluhkan warga bahkan sudah pernah dilaporkan ke
Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tapi
tidak ada tanggapan.
Sementara masyarakat di sekitar PLTU
batubara Teluk Sepang Bengkulu telah menyuarakan penolakan sejak awal pendirian
proyek pada 2016, bahkan izin lingkungan PT Tenaga Listrik Bengkulu telah
digugat warga ke Pengadilan Negeri Tata Usaha (PTUN) namun kalah.
Ketua Kanopi Hijau Indonesia Ali Akbar
mengatakan proyek PLTU batubara yang didanai ICBC dan Export Import Bank of
China ini telah membuat nelayan Kelurahan Teluk Sepang kehilangan sumber ekonomi
dan justru mendapat penyakit.
“Sejak PLTU beroperasi ada 39 orang
warga Teluk Sepang yang terkena penyakit kulit yang sulit sembuh dan kondisi
ini belum pernah terjadi,” kata Ali.
Ali mengatakan PT Tenaga Listrik
Bengkulu telah tiga kali mendapat sanksi administrasi dari KLHK akibat
ketidaktaatan terhadap aturan pengelolaan lingkungan. Sanksi administrasi
pertama adalah perbaikan pengelolaan air bahang, termasuk rekonstruksi kolam
pendingin air bahang yang hancur diterjang gelombang, perbaikan pengelolaan
limbah FABA, dan sanksi perbaikan bangunan penahan panas air bahang yang rusak
akibat abrasi.
Meski sudah mendapatkan tiga kali sanksi
administrasi, berdasarkan pantauan lapangan, PT Tenaga Listrik Bengkulu sama
sekali tidak menunjukkan kemajuan apapun untuk memperbaiki sistem pembuangan
limbah air bahang dan pengelolaan limbah FABA. Justru PT TLB membuang limbah
FABA ke kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang-Pulau Baai.
Di Nagan Raya Aceh, keberadaan proyek
PLTU membuat 35 kepala keluarga warga Desa Suok Puntong terpaksa pindah akibat
lingkungan yang dipenuhi debu angkutan batubara.
Zaidun Abdi dari Perkumpulan Pembela
Lingkungan Hidup (P2LH) Aceh mengatakan warga tidak punya pilihan lain kecuali
pindah dengan ganti rugi yang ditawarkan perusahaan karena tidak tahan
menghirup debu angkutan batubara setiap hari.
PT PLN dan Sinohydro Co. Ltd pemilik
proyek PLTU Nagan Raya juga membuang limbah air bahang ke laut dengan suhu
rata-rata 35 derajat Celcius yang bertentangan dengan Peraturan Kementerian
Lingkungan Hidup No.51 pasal 3 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air.
Situasi di tapak PLTU batubara di tiga
provinsi ini menggambarkan bahwa perusahaan dari China dan perusahaan swasta
Indonesia, telah mengabaikan hak-hak asasi warga negara Republik Indonesia,
terutama yang tinggal di sekitar pembangkit. Mereka kehilangan sumber
penghidupannya dan kesehatannya. Dua faktor ini akan menyebabkan warga yang
tinggal disekitar pembangkit kehilangan masa depan.
Hal ini yang mendasari konsorsium
membuat laporan kepada Komisaris Tinggi PBB untuk HAM atau OHCHR dan meminta
OHCHR mendesak China untuk melaksanakan Deklarasi Universal HAM dan Kovenan
internasional tentang hak-hak ekonomi sosial dan budaya, membentuk sistem dan
mekanisme pengaduan yang bertujuan memastikan setiap proyek yang didukung China
tidak melanggar HAM dan memastikan China melakukan evaluasi secara rutin dari
setiap proyek yang didukung, serta melakukan perbaikan dari setiap proyek yang
telah melanggar HAM.
Adapun tuntutan dan rekomendasi
konsorsium adalah :
1. Melakukan pencarian fakta lapangan
dengan mengirimkan tim pencari fakta yang independen untuk memastikan bahwa
telah terjadi pelanggaran HAM utamanya di sekitar PLTU.
2. Merekomendasikan kepada perusahaan
dari China untuk melaksanakan perbaikan atas pelanggaran yang telah dilakukan
di PLTU batubara Teluk Sepang Bengkulu, PLTU Pangkalan Susu Sumatera Utara dan
PLTU Nagan Raya Aceh.
3. Melakukan pemulihan baik
lingkungan, ekonomi maupun kesehatan warga akibat kesalahan pengelolaan PLTU
4. Melakukan monitoring secara ketat
dengan menunjuk tim independen yang mewakili seluruh pemangku kepentingan
5. Meminta kepada semua perusahaan
untuk menyampaikan laporan pengelolaan dan pengendalian lingkungan kepada semua
pihak terutama komunitas yang berada di sekitar pembangkit.
6. Meminta kepada perusahaan untuk
menghormati hak-hak masyarakat yang ada disekitar perusahaan terutama hak
masyarakat adat. (Red)