GUDATAnews.com, Seluma - Di tengah gempuran krisis iklim
dan degradasi lingkungan global, Indonesia justru menorehkan keputusan
mengejutkan. Bukit Sanggul, jantung hijau Kabupaten Seluma, terancam berubah
menjadi lautan lubang emas. Melalui SK Menteri LHK No. SK.533/MENLHK/SETJEN/PLA.2/5/2023,
pemerintah pusat resmi menurunkan status 19.939 hektare hutan lindung Bukit
Sanggul menjadi hutan produksi tetap. Di balik dalih “peningkatan iklim
investasi”, tersembunyi satu nama, yaitu PT Energi Swa Dinamika Muda (ESDMu),
pemegang konsesi tambang emas seluas 24.800 hektare.
Tanpa banyak suara, izin operasi produksi dikantongi, dan
langkah eksploitasi telah disiapkan. Ironisnya, 98% dari konsesi tambang ini
adalah hutan alami, dan 97% di antaranya adalah wilayah kerja FOLU Net Sink
dengan arahan pelaksanaan Perlindungan Areal Konservasi Tinggi, sebuah proyek
nasional pengurangan emisi karbon.
“Alih-alih memperkuat komitmen iklim, negara malah melepas
wilayah penyangga karbon kepada tambang. Ini sabotase terhadap janji sendiri.
Bukannya dilindungi, hutan ini justru diberikan kepada korporasi tambang emas.”
kritik Egi, Direktur Eksekutif Genesis.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),
potensi kayu dalam 1 hektar hutan sangat bervariasi tergantung pada jenis hutan,
kondisi hutan, dan faktor lainnya. Rata-rata, hutan alam dapat menghasilkan
sekitar 30 m³ kayu per hektar.
Dengan asumsi tersebut, maka potensi kayu dari kawasan hutan
seluas 24.800 hektar dapat dihitung sebagai berikut: 24.800 hektar × 30
m3/hektar = 744.000 m3 kayu.
Artinya, secara teoritis, kawasan hutan alam seluas 24.800
hektar dapat menghasilkan hingga 744.000 m3 kayu, apabila dikelola atau
dieksploitasi secara penuh. Nilai ini hanya bersifat estimasi dan bisa berbeda
tergantung pada kondisi aktual hutan dan kebijakan pengelolaannya.
Tidak hanya itu, sebanyak 2.049 aliran anak sungai berada
dalam wilayah tambang. Sungai-sungai besar seperti Air Talo Besar, Air Alas,
dan Air Alas Kanan yang menopang 48 desa di Seluma kini terancam rusak oleh
pencemaran logam berat dari aktivitas ekstraksi emas.
Di Halmahera, pertambangan emas menyebabkan banjir lumpur
yang mematikan ikan dan merusak kebun warga. Di Mimika, tailing Freeport
meracuni sungai, hutan sagu, dan laut, meninggalkan jejak penyakit, pencemaran,
dan konflik tak berujung.
Skenario paling kelam adalah kerusakan permanen pada
ekosistem air dan tanah. Merkuri dan sianida, dua bahan kimia umum dalam
tambang emas, memiliki jejak panjang meracuni air minum, mengganggu sistem
saraf, kerusakan organ, hingga menyebabkan kematian.
Prospek area “Alas” yang menjadi incaran utama PT ESDMu
digadang memiliki 5,2 juta ounces emas, cukup untuk menjadikannya world class
gold mining. Namun, untuk menggali emas ini, dibutuhkan eksplorasi dan
pengeboran dalam jumlah masif. Sedikitnya terdapat 148 titik bor yang
direncanakan dalam prospek area ini.
Wilayah konsesi ESDMu bukan lahan kosong. Hasil analisis
citra satelit menunjukkan bahwa degradasi lahan sudah terjadi di 337 hektare
pada bulan November 2024 lalu, bahkan sebelum aktivitas tambang dimulai secara
penuh. Terdapat degradasi yang berdekatan dengan desa giri nanto seluas 31
hektare, terdiri dari 10 hektare di HPT Air Talo dan 21 hektare di HL Bukit
Sanggul. Berdekatan dengan calon lokasi izin PPKH dan masuk dalam prospek Alas
seluas 306 hektare, terdiri dari 226 hektare sudah beralih menjadi perkebunan
kopi dan sisanya 80 hektare masih lahan terbuka.
Egi menambahkan, proyek tambang emas ini bukan hanya soal
investasi, tapi soal harga yang dibayar oleh bumi dan rakyatnya. Jika
pemerintah membiarkan tambang emas ini berjalan tanpa prinsip kehati-hatian dan
keadilan ekologis, maka yang akan ditambang bukan hanya emas tetapi masa depan
hutan, air, dan kehidupan.
Pemerintah pusat berdalih ini semua demi investasi. Tapi
siapa sebenarnya yang diuntungkan? Tambang bersifat padat modal dan minim
tenaga kerja. Sementara masyarakat lokal, yang hidupnya bergantung pada hutan
dan pertanian, berpotensi menjadi korban dari sebuah proyek yang tak pernah
mereka minta.
Bukit Sanggul bukan hanya bentang hutan. Ia adalah penyangga
kehidupan, penjaga air, penyelamat iklim, dan penopang ekonomi rakyat kecil.
Jika negara bersikeras menukarnya dengan tambang, maka yang hilang bukan hanya
pohon dan tanah, melainkan warisan masa depan kita sendiri.
“Ini bukan pembangunan, ini penggusuran terselubung yang
dibungkus emas dan janji-janji palsu,” tutup Egi.(Rls)