rza3z0iXwfrhP0Bo61a36W2lz3i7Fxgii3ShC0NK

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

37.073 Hektar Ruang Hidup di Mukomuko Bengkulu Terancam Tambang

 

Tambang yang merusak lingkungan


GUDATAnews.com, Mukomuko — Kabupaten Mukomuko, wilayah paling utara Provinsi Bengkulu kini menghadapi ancaman ekologis dan sosial yang serius. Arah baru pembangunan yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2025–2045 justru membuka ruang besar bagi ekspansi pertambangan mineral dan batubara.

 

Analisis Yayasan Genesis Bengkulu berdasarkan data geospasial menunjukkan bahwa luas kawasan peruntukan pertambangan di Mukomuko mencapai 37.073,95 hektar, tersebar di 15 kecamatan, hampir mencakup seluruh wilayah administratif kabupaten. Artinya, Mukomuko yang dulunya hidup dari pertanian rakyat kini diarahkan menjadi pusat industri ekstraktif baru di Bengkulu.

 

“Kawasan peruntukan pertambangan di Mukomuko bukan berdiri di atas lahan kosong, tapi di atas sawah, kebun, dan rumah rakyat,” ucap Egi, Direktur Genesis Bengkulu.

 

Egi melanjutkan, dari total 37 ribu hektar kawasan tambang tersebut, sekitar 78 persen merupakan kebun sawit, 11,6 persen lahan pertanian, dan 7,9 persen permukiman penduduk. Dengan demikian, lebih dari 95 persen wilayah yang akan ditambang adalah ruang hidup aktif masyarakat. Kebijakan ini berpotensi menghilangkan sumber penghidupan petani kecil, mengganggu ketahanan pangan lokal, meningkatkan risiko banjir dan sedimentasi, serta mengancam wilayah pesisir yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi masyarakat.

 

Perubahan besar arah tata ruang ini tidak bisa dilepaskan dari terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Aturan tersebut menggeser sistem tata ruang nasional yang semula desentralistik menjadi sentralistik, di mana pemerintah pusat memiliki kendali penuh terhadap arah kebijakan dan penetapan ruang daerah. Penataan ruang yang seharusnya menjamin keseimbangan ekologis dan sosial kini berubah fungsi menjadi instrumen percepatan investasi.

 

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian secara terang-terangan menyatakan dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Penataan Ruang Nasional bahwa keberadaan RTRW dan RDTR menjadi prasyarat bagi daerah untuk menarik investasi. Pernyataan ini menunjukkan bahwa tata ruang tidak lagi diposisikan sebagai dokumen pengelolaan ruang hidup masyarakat, melainkan sebagai syarat administrasi bagi investor.



 

Di tingkat daerah, semangat partisipatif dalam penyusunan RTRW juga mulai pudar. Ranperda RTRW Mukomuko 2025–2045 memang mencantumkan “bentuk peran masyarakat”, tetapi hanya secara normatif. Tidak ada kejelasan tentang tahapan konsultasi publik, akses masyarakat terhadap data dan peta ruang, atau jaminan bahwa masukan rakyat akan diakomodasi. Masyarakat hanya diundang memberi masukan tanpa diberi mekanisme untuk menentukan arah pembangunan ruang hidupnya sendiri.

 

Lebih ironis lagi, dokumen RTRW Mukomuko ternyata bukan hasil proses deliberatif lokal. Berdasarkan keterangan Ketua Bapemperda DPRD Mukomuko, penyusunan perda hanya memakan waktu tiga hari setelah menerima surat dari pemerintah pusat yang mendasarkan perda tersebut pada Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 8 Tahun 2025. Fakta ini menegaskan bahwa RTRW Mukomuko hanyalah produk turunan regulasi nasional, bukan hasil dialog antara pemerintah dan rakyat di daerah.

 

Kebijakan ini menunjukkan bahwa daerah tidak lagi memiliki otonomi substantif dalam menentukan masa depan ruangnya sendiri. RTRW yang seharusnya menjadi wujud kedaulatan ruang daerah kini berubah menjadi instrumen pelaksanaan kebijakan pusat. Ketika setiap kabupaten hanya menurunkan isi peraturan menteri menjadi perda tanpa ruang negosiasi, maka tata ruang di Indonesia telah sepenuhnya menjadi sistem top-down, di mana kebijakan pusat mendikte kehidupan masyarakat di daerah.

 

Kontradiksi juga tampak pada kebijakan tingkat provinsi. Perda RTRW Provinsi Bengkulu Nomor 3 Tahun 2023 Pasal 6 Ayat 2 menegaskan, strategi mempertahankan fungsi kawasan hutan dan mengendalikan pertambangan. Namun pada saat yang sama, perda tersebut menetapkan 194.309 hektar kawasan pertambangan di delapan kabupaten/kota, termasuk Mukomuko yang menampung hampir 19 persen dari total luasan. Retorika ekologis tampak hanya sebagai slogan di atas kertas, sementara di lapangan, orientasi ekstraktif tetap menjadi arah utama pembangunan.

 

Situasi di Mukomuko mencerminkan gejala yang lebih luas, krisis tata ruang telah menjadi krisis demokrasi. Ketika kebijakan ruang disusun tanpa melibatkan rakyat, ruang hidup masyarakat berubah menjadi wilayah investasi. Perampasan ruang kini tidak dilakukan dengan kekerasan, tetapi melalui peraturan yang sah secara hukum.

 

Mukomuko bukan sekadar titik di peta tambang, melainkan rumah bagi manusia, hutan, dan sungai. Ketika 37.073 hektar ruang hidup rakyat dijadikan kawasan pertambangan, yang hilang bukan hanya lahan, tetapi masa depan. Menetapkan 37 ribu hektar kawasan tambang sama artinya dengan menghapus lahan pangan dan masa depan petani.

 

“Ruang hidup bukan izin usaha, ia adalah amanah untuk dijaga bersama,” tutup Egi.(Rls)

Artikel Terkait

Artikel Terkait