GUDATANews.com,
Bengkulu - Terlalu banyak
makan petuah. Tapi sebelum itu saya bangga, menjadi bagian dari Indonesia.
Menyadari diri berada di daerah dengan seribu satu petuah. Negeri yang
diselimuti makhluk ramah tamah. Petuah yang memberi berjubel semangat dari
antah berantah. Seharusnya, semangat yang berjubel sebagai hasil dari jutaan
petuah. Ternyata kesombongan juga.
Sejak kecil,
yang saya percaya juga dirasakan oleh mayoritas anak di Indonesia, kami hidup
berkecukupan. Cukup, untuk membeli beras lima canting sehari. Cukup untuk
membeli bahan untuk membuat lauk telur
dan sambal ulek. Itu kata Nenek. Katanya hidup akan lebih manis kalau semua
yang pahit diungkapkan dengan kalimat positif.
Dulu saya juga ingin seperti Nenek, memaknai semua
dengan positif. Sampai pada saat kenyataan yang sebenarnya sulit untuk diambil
nilai positifnya itu datang. Ayah memang jarang pulang karena alasan pekerjaan,
tapi tidak pernah terduga oleh kami bahwa ayah tidak pernah pulang.
Atau mungkin
pulang ke rumah yang lain. Bunda yang sempat berbulan-bulan mencari Ayah,
akhirnya menyerah. Menyerah pada
kenyataan perceraian yang dua bulan kemudian diusulkannya. Pasrah akan beban
hutang puluhan juta yang harus ditanggungnya.
Tetapi hidup
kami tetap berkecukupan kata Nenek. Cukup untuk membeli beras tiga canting
sehari. Cukup untuk membayar zakat fitrah di akhir batas waktu pembayaran, saat
beberapa tetangga sudah memberikan zakatnya kepada anggota keluarga kami.
Saat sesuatu itu
terjadi saya masih menempuh pendidikan di bangku kelas dua Sekolah Dasar. Dan
Kakakku duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar. Beban atas hutang yang ditinggalkan
Ayah membuat Bunda tertekan tak alang kepalang. Apalagi jumlah itu terbilang
sangat besar pada saat itu. Bunda terhimpit tidak hanya dari sisi finansial
tapi juga dari sisi psikologis.
Kalau dari
berbagai penjuru Allah SWT memberikan cobaan maka dari berbagai pintu Bunda
mencoba mencari solusinya. Pagi berdagang di pasar, sore menyetrika pakaian.
Bulan Ramadhan berjualan buah kurma. Musim pasar malam berjualan jagung bakar.
Kami sepulang
sekolah membantu. Berbagi tugas membantu berdagang di pasar, menyetrika
pakaian, membungkus kurma, membuat arang. Semua itu kami lakukan secara bergotong-royong
agar bisa memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari. (Bagian 1, Bersambung/ Karya: Radha Dinda Agisni)