GUDATAnews.com,
Bengkulu - Sekumpulan masyarakat, mahasiswa dan
komunitas seni menggelar aksi kamisan di Simpang 5 Bengkulu 12 Desember 2024.
Aksi reflektif itu didasari oleh banyaknya kasus pelanggaran HAM yang belum
tuntas dan gagalnya negara dalam menjamin hak- hak warganya.
Baariq Sholahuddin Al Fattah selaku kordinator lapangan aksi
menjelaskan bahwa tema kamisan Bengkulu kali ini penting untuk menyoroti isu
krusial di Bengkulu yang cukup menyita nurani publik yaitu “Tanah Untuk Petani:
Tuntaskan Konflik Agraria”.
“Kita bisa bayangkan di negeri agraris ini petani di Bengkulu
masih terseok- seok dalam perjuangannya ingin memiliki tanah untuk bertani.
Kemudian yang paling menyayat hati ketika kita mengetahui fakta di lapangan ada
3 petani Tanjung Sakti Mukomuko Harapandi, Rasuli dan Ibnu Amin yang dipaksa
oleh hukum untuk membayar 3,3 milyar rupiah dalam kasus petani Tanjung Sakti
melawan PT Daria Dharma Pratama (PT DDP),” ungkap Baariq.
Petani Tanjung Sakti merupakan kumpulan petani yang berasal
dari beberapa desa di Mukomuko yang berbatasan dengan perkebunan PT DDP.
Sengketa lahan antara kelompok petani Tanjung Sakti dan PT DDP ini sudah
berlangsung kurang lebih tiga tahun. Awalnya para petani melihat lahan kebun
yang tidak terurus dan mempertanyakan status lahan itu kepada PT DDP. Pihak
perusahaan menyampaikan bahwa lahan tersebut belum memiliki Hak Guna Usaha
(HGU).
Hal ini kemudian menjadi dasar petani yang tidak memiliki
tanah untuk mengelola lahan tersebut. Hal ini juga diperkuat oleh surat PT DDP
No: 113/DD-APE/III/2022 tertanggal 9 Maret 2022, yang pada pokoknya PT DDP
mengakui bahwa area divisi 5 dan divisi 7 Air Pedulang Estate berada di luar
HGU PT DDP. Atas kerancuan status hukum itu petani menjalankan partisipasi
publik dengan menahan aktifitas perusahaan kemudian melaporkannya ke
Kementerian ATR BPN. Namun yang didapat petani mereka digugat hukum oleh PT
DDP.
Kasus petani Tanjung Sakti melawan PT DDP ini sudah berada di
pengadilan tingkat akhir di Mahkamah Agung. Petani dituduh menguasai lahan yang
bukan miliknya. Pada pengadilan tingkat kedua putusan pengadilan menyatakan
petani bersalah dan harus membayar uang sebesar 3,3 milyar rupiah. Kemudian
petani mengajukan memori Kasasi ke Mahkamah Agung.
Paet Lubis pendiri Komunitas Merawat Nalar selaku pemberi
kuliah terbuka di aksi kamisan Bengkulu menegaskan bahwa peristiwa yang dialami
oleh petani Tanjung Sakti merupakan kegagapan negara dalam menjamin hak- hak
petani.
“Negara dalam hal ini Mahkamah Agung harus melihat petani
Tanjung Sakti sebagai korban dan harus memenangkannya dalam tingkat kasasi
tersebut. Karena petani tidak memiliki tanah untuk bertani, sementara tanah di
sekitaran petani dikuasai PT DDP. Kemudian yang cukup memprihatinkan dalam
kondisi petani yang tidak mendapatkan tanah, mereka dihukum membayar 3,3 milyar
rupiah kepada PT DDP. Mahkamah Agung harus mempertimbangkan kondisi- kondisi
tersebut dalam mengambil keputusan”, jelas Paet. (Rls)