GUDATAnews.com,
Bengkulu - Selama di
Mina kegiatan jamaah haji adalah melontar jumrah. Hari pertama dan dengan masih
berbungkus pakaian ihram, kondisi tubuh sudah mulai kelelahan. Larangan ihram
masih tetap melekat yakni wala rafats, fusuq dan jidal (jangan melakukan
sesuatu yang berbau seks, jangan fasik berbuat jahat dan jangan berbantahan
atau bertengkar) terhitung dari tanggal 8 Dzulhijjah.
Melontar jumrah aqabah waktu dan jamnya bisa berubah-ubah.
Sebab semua jalur menuju ke jamarat/tempat melontar pasti selalu padat.
Berdasarkan laporan pantauan inilah petugas menanti informasi dan instruksi
kapan boleh berangkat melontar. Setelah melontar jumrah Aqobah selesai jamaah
bertehallul yakni memotong rambut selanjutnya ke jamarat boleh berpakaian biasa
dan melontar pada hari kedua dan hari ketiga. Bacaan yang dianjurkan saat
setiap lontaran bisa dibuka di buku panduan
بِسْÙ…ِ اللهِ Ùˆَاللهُ Ø£َÙƒْبَرُ رَجْÙ…ًا Ù„ِلشَّÙŠَاطِينِ Ùˆَرِضًا Ù„ِÙ„َّرْØْÙ…َÙ†ِ
اللَّÙ‡ُÙ…َّ اجْعَÙ„ْ Øَجًّا Ù…َبْرُورًا Ùˆَسَعْياً Ù…َØ´ْÙƒُورًا
Atau boleh begini
بِسْÙ…ِ اللهِ Ùˆَاللهُ Ø£َÙƒْبَرُ
Bagaimana dengan jamaah haji lansia yang tidak sanggup
berjalan. Selama ini taqaf dan sa'inya dengan kursi roda? Apakah untuk melontar
juga boleh pakai kursi roda? Jika masih sanggup sampai
ke jamarat (tempat melempar jumrah) maka jamaah haji wajib berangkat
ke jamarat. Dan jika setelah disana ia melihat adanya kesulitan
dikarenakan kepadatan orang, maka boleh diwakilkan melontar jumrah pada
siapapun. Jika tidak sanggup lagi berjalan maka dia boleh tetap di tenda orang
lain yang melontorkan buat jamaah lansia. Caranya yang mewakili melontar untuk
dirinya terlebih dahulu sampai selesai baru dia melontar untuk diri orang yang
diwakilinya.
Pagar Dewa, 23052023
Salam UJH. (Red)